Senin, 01 Desember 2014

Filsafat Ilmu : Prinsip Bebas Nilai dan Cara Mengatasinya

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Ilmu pengetahuan terus berkembang mengikuti perkembangan zaman. Namun, akibat perkembangan dan tuntutan zaman obyektifitas terhadap ilmu pengetahuan pun menjadi problematika dalam kebutuhan zaman sekarang ini. Dikarenakan, penggunaan ilmu pengetahuan dalam kehidupan akan berdampak besar terhadap hasil dari suatu proses aplikasi ilmu.
Aturan – aturan sosial juga ingin berperan dalam ilmu pengetahuan. Sehingga juga sangat mempengaruhi dalam proses penggunaan ilmu pengetahuan ke dalam kehidupan. Proses pemerolehan ilmu pengetahuan dari dahulu sampai sekarang dilakukan tanpa nilai etika. Meskipun menurut para ahli sendiri terdapat pro dan kontra mengenai “Ilmu yang Bebas Nilai dan Ilmu yang Terikat Nilai”.
Masalah etika yang dilanggar para Ilmuwan banyak mengorbankan nyawa makhluk hidup lain, bahkan nyawa manusia, semata-mata untuk mendapatkan nilai kebenaran. Sebagai contohnya dalam masalah medis, kelinci, katak, monyet, dan sebagainya adalah hewan yang paling banyak dikorbankan. Untuk masalah teknologi manusialah yang menanggung akibatnya, misalnya uji senjata nuklir dan sebagainya. Tetapi yang paling menggelitik adalah nyawa makhluk lain selain manusia, yang tak berdaya mempertahankan hidupnya, oleh berbagai percobaan ilmu pengetahuan.
Dalam ranah filsafat ilmu, ada topik yang hingga saat ini masih diperdebatkan. Topik tersebut adalah: apakah ilmu itu bebas nilai (value-free) alias netral, atau sebaliknya, ilmu itu sarat akan nilai (value-laden)? Tidak sedikit respon yang bermunculan dalam menanggapi hal ini dengan argument yang pun beragam.
Topik di atas tampaknya tidak sederhana karena setiap jawaban punya implikasi, tidak hanya dalam ranah filsafat ilmu saja. Banyak sekali aspek kehidupan manusia yang diatur secara langsung oleh ilmu. Jadi, paham bahwa ilmu itu value-free atau ilmu itu value-laden, akan mempengaruhi kehidupan manusia secara langsung (Ahmad Tafsir, 2010: 46, dan Harold Kincaid dkk., 2007: 4).
Ilmu yang dimaksud di sini adalah berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan, baik ilmu alam, ilmu sosial, atau ilmu humaniora. Sedangkan untuk memahami maksud kata “nilai” (value)—memperhatikan penggunannya yang beragam dan kompleks, kita bisa melihatnya dari segi makna kata dan pendapat para ahli.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 1004)  kata “nilai” mempunyai beberapa arti, salah satunya adalah “sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan.” Kata “nilai” untuk bahasa Inggris adalah value. Dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary edisi keenam (2000: 1493) kata value juga mempunyai beberapa arti, salah satunya adalah “beliefs about what is right and wrong and what is important in life”. (kepercayaan atau keyakinan mengenai apa yang benar dan salah, serta apa yang penting dalam kehidupan). Dua pengertian tersebutlah—sebagaimana akan dijelaskan nanti—yang sesuai dalam pembahasan ini, karena pengertian lain yang terdapat dalam dua kamus tersebut berkaitan dengan harga (uang), dan angka.
Pengertian di atas sejalan dengan yang dijelaskan oleh Harold Kincaid dkk. (2007: 10), bahwa yang dimaksud “nilai” adalah berbagai hal yang oleh individiu-individu dipandang berharga atau mesti dipromosikan, dikembangkan dan direalisasikan.  Dalam pengertian ini, “nilai” tidak hanya mengenai nilai moral, etis, atau politis, tapi juga nilai epistemis.
Terdapat penjelasan yang beragam mengenai ilmu bebas nilai (value-free science),namun bukan berarti kontradiktif. Menurut Ahmad Tafsir (2010: 46), istilah ilmu bebas nilai  berarti bahwa ilmu itu netral, tidak memihak pada kebaikan dan tidak juga pada kejahatan. Sedangkan menurut Harold Kincaid dkk. (2007: 4), maksud ilmu bebas nilai adalah bahwa suatu penyataan ilmiah (scientific claim) tidak terikat pada pandangan moral dan politik seseorang. Ini karena tugas ilmu adalah menyampaikan fakta-fakta, dan benar-salahnya pernyataan ilmiah tergantung pada bukti. Dan bebas nilai atau netral menurut F. Budi Hardiman (2003: 173) adalah tidak berprasangka, tidak memberikan penilaian baik atau buruk, dan bebas dari kepentingan-kepentingan manusiawi. Ilmu bebas nilai atau netral juga mengandung arti bahwa suatu teori ilmu bisa digunakan oleh siapa saja, kapan saja, dimana saja, dan untuk apa saja.
Pandangan ilmu bebas nilai merupakan ciri modernitas dan melekat pada pemikiran positivisme. Ini bukan tanpa alasan. Empirisme dan rasionalisme yang merupakan cikal bakal positivisme berusaha keras memperoleh teori yang bersifat ilmiah, teori murni. Keduanya berkeyakinan bahwa teori tersebut mungkin diperoleh dengan jalan membersihkan pengetahuan dari dorongan dan kepentingan manusiawi.
Kemudian lahirlah positivisme, yang merupakan puncak pembersihan pengetahuan dari kepentingan dan awal pencapaian cita-cita untuk memperoleh pengetahuan demi pengetahuan, yaitu teori yang dipisahkan dari praksis hidup manusia.Positivisme menganggap pengetahuan mengenai fakta yang objektif sebagai pengetahuan yang sahih (F. Budi Hardiman, 2009: 25).
Objektif, ahistoris (tidak menyejarah), dan netral adalah di antara kriteria ilmu bebas nilai  yang didambakan positivisme. Objektif berarti ilmu sesuai dengan kenyataan. Ahistoris berarti teori yang diciptakannya universal, berlaku di mana saja, dalam berbagai keadaan, dan kapan saja. Netral berarti teori adalah deskripsi murni tentang fakta atau objek, yang merupakan “pengetahuan demi pengetahuan”. Teori tidak dapat mempengaruhi atau mengubah objeknya, sedangkan objeknya adalah merupakan sesuatu yang tidak berubah, sehingga tidak mempengaruhi kegiatan untuk memperoleh teori murni.
Bagi F. Budi hardiman (2003: 173) watak-watak tersebut merupakan pembawa nilai-nilai modern yang paling mendasar di kalangan komunitas ilmiah, seperti sikap tak berpihak, toleran, rasional, dan demokratis, karena penelitian ilmiah bagaimanapun meyakini adanya kebenaran objektif yang tidak tergantung pada perspektif dan autoritas subjektif.
Ilmu bebas nilai sepertinya sudah menjadi pandangan umum. Ini terlihat dari banyaknya teori, metodologi, dan konten/produk ilmu yang diciptakan Barat menyebar ke seluruh penjuru dunia. Orang-orang dewasa ini dengan bangga menyebut sebagai “Kebudayaan ilmiah modern  (Scientific Civilization)”. Hampir setiap negara dan masyarakat dewasa ini mengarahkan proses modernisasinya ke sana.

Namun seiring perjalanan waktu, pandangan ilmu bebas nilai tidak lepas dari kritik. Hal tersebut terjadi terutama setelah terjadi Perang Dunia I dan II. Ini dilihat dari sisi aksiologis ilmu, bahwa ternyata ilmu bukan saja digunakan untuk menguasai alam melainkan juga untuk memerangi sesama manusia dan menguasai mereka.
Dengan berpijak pada objektivitas dan netralitas ilmu maka penguasaan alam atas nama ilmu pengetahuan mutlak menjadi sebuah keharusan. Pada gilirannya adalah penguasaan manusia lain atas nama ilmu pengetahuan dan teknologi oleh manusia lainnya.
Di Jerman, lahir Teori Kritis Mazhab Frankfurt yang merupakan kontra positivisme dan menolak pandangan ilmu bebas nilai. Menurut mazhab ini, di belakang selubung objektivitas ilmu-ilmu, tersembunyi kepentingan-kepentingan kekuasaan (Asep Ahmad Hidayat, 2009: 207). Salah satu pendiri Teori Kritis, Herbert Marcuse, menyoroti bagaimana rasionalitas modernitas berfungsi sebagai ideologi dan dominasi. Ia juga menegaskan bahwa cara berpikir para ilmuwan masyarakat modern telah membeku menjadi ideologi dan mitos (F. Budi Hardiman, 2009: 73). Menjadi ideologis karena penganut positivisme mengklaim bahwa hanya metodenya-lah yang memungkinkan kebenaran objektif tentang fakta.
Pakar yang lain, Gerald Doppelt (dalam Harold Kincaid dkk., 2007: 189-191) menyatakan bahwa komitmen nilai dan kepentingan praktis yang dimiliki manusia memberikan pengaruh pada praktek-praktek keilmuan, tidak hanya epistemis tapi juga non-epistemis. Dalam ranah epistemis, komitmen nilai dan kepentingan bisa menentukan pengetahuan yang kita cari; motif dalam mempraktekkan ilmu; konsep, metode, atau hipotesis yang digunakan; pertanyaan dan problema tertentu yang dipecahkan; dan dalam hal apa kegunaan ilmu pengetahuan diterapkan. Dan dalam ranah non-epistemis, komitmen nilai dan kepentingan menentukan tujuan pencarian bantuan dana keilmuwan atau dukungan, raihan penghargaan atau pengakuan bagi karya ilmiah, pembagian tugas keilmuan, lembaga yang membangun kerja ilmiah, pendidikan dan latihan para ilmuwan, dan komposisi komunitas ilmiah yang bersifat golongan, kesukuan, etnis, gender dan agama.
Pengaruh nilai dalam ranah epistemis juga dikemukakan oleh Ahmad Tafsir (2010: 47). Dan tidak hanya itu, nilai juga akan menentukan dalam ranah ontologis dan aksiologis. Dalam pandangannya, nilai akan menentukan dalam:
1) memilih objek penelitian,
2) cara meneliti, dan
3) menggunakan hasil penelitian.
Masih dalam ranah epistemis, Hamid Fahmi Zarkasyi (2005) berpandangan bahwa ilmu tidak bebas nilai, justru sebaliknya, yaitu sarat akan nilai. Pandangannya bertolak dari konsep worldview (pandangan dunia). Menurutnya, ilmu dalam tradisi manapun tidak lahir secara tiba-tiba. Fondasi bagi lahirnya suatu disiplin ilmu adalah worldview yang memiliki konsep-konsep keilmuan. Worldview ilmiah ini kemudian menghasilkan tradisi intelektual (tradisi ilmiah) dalam masyarakat dan selanjutnya lahirlah disiplin ilmu.
Sedikitnya terdapat lima bagian penting struktur worldview, yaitu struktur:
1) tentang kehidupan,
2) tentang dunia,
3) tentang manusia,
4) tentang nilai, dan
5) tentang pengetahuan.
Gabungan dari struktur kehidupan, dunia dan pengetahuan akan melahirkan struktur nilai, di mana konsep-konsep tentang moralitas berkembang. Setelah keempat struktur itu terbentuk dalam pandangan hidup seseorang, maka strutktur tentang manusia akan terbentuk secara otomatis.
Meskipun proses akumulasi kelima struktur di atas dalam pikiran seseorang tidak selalu berurutan, tapi yang perlu dicatat bahwa kelima struktur itu pada akhirnya menjadi suatu kesatuan konseptual dan berfungsi tidak saja sebagai kerangka umum dalam memahami segala sesuatu termasuk diri kita sendiri, tapi juga mendominasi cara berpikir kita. Di sini, dalam konteks lahirnya ilmu pengetahuan di masyarakat, struktur pengetahuan merupakan asas utama dalam memahami segala sesuatu. Ini berarti bahwa teori atau konsep apapun yang dihasilkan seseorang dengan worldview tertentu akan merupakan refleksi dari struktur-struktur worldview di atas. Inilah alasan mengapa ilmu tidak bebas nilai.

B.     Perumusan Masalah
1.     Apa problem etis dalam ilmu pengetahuan?
2.     Bagaimana sebenarnya prinsip bebas nilai dan terikat nilai dalam ilmu pengetahuan?
3.   Apa saja jalan keluar untuk mengatasi masalah bebas nilai?



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Problem Etis Dalam Ilmu Pengetahuan
Rasional ilmu pengetahuan terjadi sejak Rene Descartes dengan sikap skeptis  - metodisnya meragukan segala sesuatu, kecuali dirinya sedang ragu – ragu (cogito ergo sum). Sikap ini berlanjut pada masa Aufklarung, suatu era yang merupakan usaha manusia untuk mencapai pemahaman rasional tentang dirinya dan alam.
Weber menyatakan bahwa ilmu sosial harus bebas nilai, tetapi ilmu – ilmu sosial harus menjadi nilai yang relevan. Nilai – nilai itu harus di implikasikan oleh bagian – bagian praktis ilmu sosial jika praktik itu mengandung tujuan atau rasional. Habermas berpendirian teori sebagai produk ilmiah tidak pernah bebas nilai. Pendidirian ini diwarisi Habermas dari pandangan Husserl yang melihat fakta atau ojek alam diperlukan oleh ilmu pengetahuan sebagai kenyataan yang sudah jadi. Habermas menegaskan lebih lanjut bahwa ilmu pengetahuan alam terbentuk berdasarkan kepentingan teknis. Ilmu pengetahuan alam tidaklah netral, karena isinya tidak lepas sama sekali dari kepentingan praktis. Kepentingannya adalah memelihara serta memperluas bidang alaing pengertian antar manusia dan perbaikan komunikasi. Kepentingan itu bekerja pada tiga bidang, yaitu pekerjaan, otoritas, dan bahasa. Pekerjaan merupakan ilmu pengetahuan alam, otoritas merupakan kepentingan ilmu sosial, dan bahasa merupakan kepentingan ilmu sejarah dan hermeneutika. 

B.     Kontroversi Masalah Bebas Nilai
Akhir-akhir ini banyak dijumpai pasangan suami isteri yang sudah puluhan tahun menikah, tetapi belum dikaruniai keturunan datang kepada dokter ahli kandungan (spesialis reproduksi, obstetri, dan ginekologi). Tentunya pasangan suami isteri itu datang dengan membawa impian, setelah keluar dari ruang dokter spesialis kandungan mereka memperoleh alternatif solusi yang membantu mereka agar segera bisa menimang momongan. Alternatif solusi tersebut adalah bayi tabung.
Penemuan metode bayi tabung sebagai solusi bagi para pasangan suami isteri yang menginginkan keturunan di luar cara reproduksi alamiah tersebut memang cukup diterima oleh masyarakat. Para pasangan yang tadinya sulit memperoleh momongan karena kelainan yang terjadi dalam organ reproduksi mereka atau disebabkan faktor usia serta berbagai faktor lainnya, kini bisa memperoleh keturunan melalui proses bayi tabung. Penemuan dalam bidang reproduksi itu pun kemudian disusul dengan penemuan lain yang lebih spektakuler lagi, yakni kloning (reproductive cloning). Dengan reproductive cloning, dimungkinkan adanya proses duplikasi manusia, bahkan dengan disertai motivasi untuk mendapatkan kulitas individu yang sempurna. Namun, untuk penemuan yang terakhir itu, masih tersisa kontoversi yang menyertainya.
Dalam sebuah kuliah umum yang berbicara tentang perkembangan teknik reproduksi buatan yang ditinjau dari kaca mata etika dan hukum, disampaikan sebuah ilustrasi yang menggambarkan fenomena futuristik yang mungkin terjadi 1 abad, 50 tahun, atau mungkin bahkan hanya dalam waktu 10 tahun yang akan datang. “Nantinya telah dibuka ‘mall genetics sebagai bentuk perseroan (bisnis), minimal dalam bentuk kooperasi kedokteran (badan usaha), untuk merangkai kesempurnaan genetik, sebagai ekspresi genetik pesanan bagi bayi yang diidamkan oleh seorang ‘gadis’, atau seorang ‘pemuda’, sebagi ‘single parent’, sebagai ekspresi kasih sayang manusia di abad itu.” (Moeloek, F.A, “Etika dan Hukum Teknik Reproduksi Buatan”, disampaikan pada Kuliah Umum Temu Ilmiah I Fertilitas Endokrinologi Reproduksi, Bandung, 4-6 Oktober 2002). Ilustrasi tersebut ingin mengatakan bahwa dengan perkembangan sains dan teknologi dalam ranah ilmu pengetahuan bukan tidak mungkin apa yang sebelumnya tak pernah dipikirkan manusia dalam masalah yang selama ini dianggap sebagai urusan Yang Kuasa semata, nantinya bisa menjadi kenyataan. Saat ini kloning masih menjadi kontroversi, entah bagaimana nanti yang terjadi di tahun 2020. Keniscayaan teknik reproduksi yang semakin canggih karena berkembangnya ilmu pengetahuan bisa jadi tidak akan sekedar menjadi wacana.
Dengan penemuan-penemuan yang begitu spektakuler dan fenomenal, ilmu pengetahuan memang semakin menemukan jati dirinya. Namun, nilai lain tidak bisa dimungkiri berpotensi pula mencampuri otonomi ilmu pengetahuan itu sendiri. Moralitas, etika, dan hukum yang berlaku dalam konteks sosial dan berkembang dalam kehidupan publik mau tidak mau ikut mewarnai perkembangan ilmu pengetahuan, meskipun intervensi tersebut telah diminimalisir. Terkait dengan hal itu, perdebatan yang selalu menarik dalam membicarakan ilmu pengetahuan dan kontroversi setiap penemuan yang dilahirkannya adalah masalah ‘bebas nilai.’ Di satu sisi ilmu pengetahuan hendak berkembang secara independen, dengan tanpa memerhatikan nilai lain di luar dirinya. Namun, di sisi lain tidak bisa dielakkan ada nilai tertentu yang menyertai perkembangannya (politik, religius, maupun moral). Hingga akhirnya perdebatan tentang ‘bebas nilai’ dalam ilmu pengetahuan dirasa sia-sia karena pada faktanya ilmu pengetahuan itu sendiri terbebani oleh nilai-nilai yang menyertainya pada zaman dan konteks berlembangnya ilmu pengetahuan itu sendiri. Dalam kasus ini, kloning menjadi salah satu contohnya. Kontroversi yang mencakup nilai moral, etika, serta hukum di dalamnya menjadi satu bukti nyata yang mengerucut pada relevansi bebas nilai dalam ilmu pengetahuan.
C.    Tinjauan Teoretis Masalah ‘bebas nilai’ Dalam Ilmu Pengetahuan
Sejak saat pertumbuhannya, ilmu sudah terkait dengan masalah moral. Ketika Copernicus (1473-1543) mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa “bumi yang berputar mengelilingi matahari” dan bukan sebaliknya seperti yang dinyatakan dalam ajaran agama maka timbullah interaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya, sedangkan di pihak lain terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat dalam ajaran-ajaran di luar bidang keilmuan (nilai moral), seperti agama. Dari interaksi ilmu dan moral tersebut timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun 1633. Galileo oleh pengadilan agama dipaksa untuk mencabut pernyataan bahwa bumi berputar mengelilingi matahari (Sumantri, 2001:233).
Kilasan sejarah yang mengangkat penemuan teori heliosentris itu menjadi contoh kedua setelah kloning, yang menyinggung tentang masalah bebas nilai ilmu pengetahuan. Dalam hal ini Galileo menjadi tokoh yang “dikorbankan” demi suatu upaya pemurnian jati diri ilmu pengetahun. Nilai moral (otoritas agama), telah mencampuri wilayah ilmiah ilmu pengetahuan untuk menemukan suatu kebenaran dari data empiris yang digalinya.
Bebas nilai diartikan sebagai tuntutan bagi ilmu pengetahuan agar ilmu pengetahuan dikembangkan tanpa memerhatikan nilai-nilai lain di luar ilmu pengetahuan. Dengan kata lain ilmu pengetahuan dikembangkan hanya demi ilmu pengetahuan, karena itu ilmu pengetahuan tidak boleh dikembangkan berdasar pada pertimbangan lain di luarnya. Jadi, ilmu pengetahuan harus dikembangkan semata-mata berdasarkan pertimbangan ilmiah murni.
Yang perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa tuntutan bebas nilai bagi ilmu pengetahuan itu sendiri sebenarnya tidak mutlak. Tuntutan bebas nilai hanya berlaku bagi nilai lain di luar nilai yang menjadi taruhan utama ilmu pengetahuan. Artinya, ilmu pengetahuan tetap peduli terhadap nilai tertentu pada diri ilmu pengetahuan itu sendiri, yaitu nilai kebenaran dan nilai kejujuran.
Sekurang-kurangnya ada dua tujuan yang hendak dicapai dari pemberlakuan tuntutan agar ilmu pengetahuan dikembangkan tanpa memerhatikan nilai-nilai lain di luar ilmu pengetahuan. Tujuan tersebut adalah:
a. Agar ilmu pengetahuan tidak mengalami distorsi.
Distorsi ilmu pengetahuan bisa terjadi jika ilmu pengetahuan tunduk pada pertimbangan lain (politik, religius, maupun moral) di luar ilmu pengetahuan itu sendiri. Dengan tunduk pada pertimbangan lain, ilmu pengetahuan tidak bisa berkembang secara otonom. Itu berarti ilmu pengetahuan menjadi tidak murni sama sekali.
b. Agar ilmu pengetahuan dikembangkan hanya demi kebenaran saja.
Latar belakangnya adalah apabila ilmu pengetahuan tidak bebas dari nilai-nilai lain di luar ilmu pengetahuan, kebenaran sangat mungkin dikorbankan demi nilai lain itu.
Dihadapkan dengan masalah moral dalam menghadapai ekses ilmu dan teknologi yang bersifat merusak para ilmuwan terbagi ke dalam dua golongan pendapat. Ilmuwan golongan pertama menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai, baik itu secara ontologis maupun aksiologis. Dalam tahap ini tugas ilmuwan adalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk mempergunakannya, terlepas apakah pengetahuan itu dipergunakan untuk tujuan baik ataukah untuk tujuan yang buruk. Ilmuwan golongan kedua sebaliknya berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya kegiatan keilmuan haruslah berlandaskan pada asas-asas moral. Golongan kedua mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal, yakni, (1) ilmu secara faktual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia yang dibuktikan dengan adanya dua perang dunia yang mempergunakan teknologi-teknologi keilmuan; (2) ilmu telah berkembang dengan pesat dan makin esoterik sehingga kaum ilmuwan lebih mengetahui tentang ekses-ekses yang mungkin terjadi bila terjadi salah penggunaan; dan (3) ilmu telah berkembang sedemikian rupa sehingga terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus revolusi genetika dan teknik perubahan sosial. Berdasarkan ketiga hal itu maka golongan kedua berpendapat bahwa ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan (Sumantri, 2001:234).
D.    Relevansi masalah ‘bebas nilai’ dalam ilmu pengetahuan
Untuk menengahi perdebatan tentang permasalahan ‘bebas nilai,’ terdapat satu tawaran sintesis yang di dalamnya mencoba membedakan antara context of discovery dan context of justification.
Context of discovery menyangkut konteks di mana ilmu pengetahuan ditemukan. Yang mau dikatakan di sini adalah bahwa ilmu pengetahuan tidak terjadi, ditemukan, dan berlangsung dalam kevakuman. Ilmu pengetahuan selalu ditemukan dan berkembang dalam konteks ruang dan waktu tertentu, dalam konteks sosial tertentu. Termasuk di dalamnya adalah kenyataan bahwa ilmu pengetahuan muncul dan berkembang demi memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi manusia. Jadi, ilmu pengetahuan tidak muncul mendadak begitu saja. Ada konteks tertentu yang melahirkannya. Oleh karena itu, tidak bisa disangkal bahwa dalam melakukan kegiatan ilmiahnya, ilmuwan dimotivasi oleh keinginan, baik itu bersifat personal maupun kolektif, untuk mencapai sasaran dan tujuan yang lebih luas dari sekedar kebenaran ilmiah murni. Dengan kata lain, ada banyak faktor yang jauh lebih luas dari sekedar faktor murni ilmiah, yang ikut mendorong lahirnya ilmu pengetahuan. Tidak bisa disangkal pula bahwa ilmu pengetahuan berkembang dalam konteks tertentu yang sekaligus sangat ikut memengaruhinya. Berkaitan dengan ini, sulit dibayangkan bahwa ilmu pengetahuan bebas dari nilai-nilai baik itu yang dianut oleh setiap ilmuwan secara individual maupun yang dianut oleh setiap lembaga dan masyarakat di mana ilmu pengetahuan itu dikembangkan.
Sedangkan yang dimaksud dengan context of justification adalah konteks pengujian ilmiah terhadap hasil penelitian dan kegiatan ilmiah. Inilah konteks di mana kegiatan ilmiah dan hasil-hasilnya diuji berdasarkan kategori dan kriteria yang murni ilmiah. Di mana yang berbicara adalah data dan fakta apa adanya serta keabsahan metode ilmiah yang dipakai tanpa mempertimbangkan kriteria dan pertimbangan lain di luar itu. Jadi, satu-satunya yang dipertimbangkan adalah bukti empiris dan penalaran logis – rasional dalam membuktikan kebenaran suatu hipotesis atau teori. Dengan kata lain, satu-satunya nilai yang berlaku dan diperhitungkan adalah nilai kebenaran.
D.    Kegiatan Nilai dan Nilai Etisnya
Dalam kaitan dengan otonomi ilmu pengetahuan, masih ada hal lain yang perlu kita perhatikan. Otonomi ilmu pengetahuan tentu tidak bisa dan tidak boleh berarti bahwa penelitian ilmiah tidak perlu menghiraukan nilai luar ilmiah apa pun. Pada situasi konflik perlu diperhatikan bahwa konflik sebenarnya tidak berlangsung antara nilai – nilai etis di suatu pihak dan nilai – nilai ilmiah di lain pihak.  Dikarenakan kewajiban etis bersifat absolut. Ilmu pengetahuan tidak pernah bebas nilai, dikarenakan ia sendiri mengejawantahkan suatu nilai etis, bertambah relevansi etisnya karena semakin erat kaitannya dengan praksis.

E.     Nilai dan Obyektifitas
Salah satu kesulitan yang dihadapi ilmu – ilmu manusia ialah cara khusus manusia terlibat dalam ilmu – ilmu itu, sebagai subyek maupun obyek. Ia terlibat sebagai subyek tentu karena dialah yang mempraktekkan ilmu pengetahuan alam. Tapi ia terlibat sebagai obyek, hanya sejauh ia sebagai makhluk alam bisa menjadi pokok pmbicaraan ilmu alam. Sebab, sebagai makhluk alam ia dikuasai oleh hukum – hukum fisis, kimiawi, dan biologis. Tetapi kegiatan yang dilakukan ilmu alam tidak merupakan obyek penelitian ilmu alam. Karena ilmu alam merupakan suatu aktivitas manusiawi yang khas.



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan 
Dalam menggunakan ilmu pengetahuan, seharusnya melihat berbagai aspek. Baik dari segi norma, sosial, dan kegunaan dari ilmu sendiri. Karena hasil dari ilmu, pasti akan berdampak besar dengan yang lainnya. Seperti kemajuan ilmu pengetahuan suatu negara akan mendorong perekonomian negara tersebut. Sehingga ilmu itu harus terikat nilai. Karena perlu di perhatikan faktor sebab dan akibat dalam penggunaan ilmu pengetahuan. Dan juga subyek dan obyek ilmu sendiri adalah manusia, sehingga karena manusia memiliki tatanan nilai lainnya, tentunya akan mempengaruhi dalam penggunaan ilmu.
Kesimpulan dari sintesis ini adalah bahwa dalam context of discovery ilmu pengetahuan tidak bebas nilai, tetapi dalam context of justification, ilmu pengetahuan harus bebas nilai. Dalam context of discovery ilmu pengetahuan mau tidak mau peduli akan berbagai nilai lain di luar ilmu pengetahuan. Namun, dalam context of justification, satu-satunya yang menentukan adalah benar tidaknya hipotesis atau teori itu berdasarkan bukti-bukti empiris dan penalaran logis yang bisa ditunjukkan.
Kemudian untuk menempatkan kasus kloning dalam posisi yang tepat (terkait dengan masalah ‘bebas nilai’), ada baiknya digunakan sintesis tersebut. Apabila dibaca dengan context of justification, penemuan teknik reproduksi buatan, dalam kasus ini kloning, memang berada posisi yang tepat secara ilmiah. Eksistensinya sebagai hasil penemuan ilmiah tidak bisa diganggu gugat. Namun, ketika kita menggunakan context of discovery untuk membaca kasus ini, kesimpulan yang didapat akan lain. Dalam context of discovery, kloning menjadi penemuan yang tidak lagi perlu dikembangkan lebih lanjut karena hasilnya dianggap merendahkan martabat manusia. Dilihat dari aspek utiliter, kloning sama sekali tidak berkontribusi bagi kehidupan manusia yang lebih bermartabat.
Apabila dihubungkan dengan pembagian golongan ilmuwan sebagaimana telah dibahas di atas, context of justification dianut oleh ilmuwan golongan pertama yang menginginkan agar ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai, baik itu secara ontologis maupun aksiologis. Ilmuwan ini memiliki kecenderungan puritan-elitis. Sedangkan ilmuwan golongan kedua menganut context of discovery. Kecenderungan ilmuwan golongan kedua adalah kecenderungan pragmatis yang masih memikirkan nilai guna suatu ilmu. Mereka berpendapat bahwa ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan.
Lalu, apakah perdebatan tentang masalah ‘bebas nilai’ dalam ilmu pengetahuan itu tetap relevan untuk dibicarakan? Jawabannya adalah masih. Jawaban ini tentu disertai oleh alasan yang mendukung. Alasan pertama adalah, tuntutan ‘bebas nilai’ dalam ilmu pengetahuan memiliki tujuan yang harus senantiasa dijaga dan dijunjung dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Dengan itu ilmu pengetahuan tetap otonom dan murni ilmiah. Harapannya, ilmu pengetahuan tidak serta merta bisa dijadikan alat bagi pihak tertentu yang ingin melegitimasikan otoritas demi kepentingannya semata. Kedua, perdebatan tentang ‘bebas nilai’ dalam ilmu pengetahuan itu perlu dilihat sebagai upaya check and balances, yang bisa ditinjau dengan sintesis context of discovery maupun context of justification. Hal ini dimaksudkan untuk menggugah kesadaran ilmuwan agar tidak sekedar mengembangkan ilmu pengetahuan yang bersifat destruktif, tetapi juga tetap memerhatikan aspek utiliter ilmu pengetahuan itu sendiri. Hal tersebut tidak dimaksudkan untuk membatasi otonomi ilmu pengetahuan, hanya untuk menegaskan bahwa kebenaran memang harus diwujudkan, tapi apakah perlu, tentunya itu dikembalikan kepada para ilmuwan sendiri.

 



DAFTAR PUSTAKA

Amsal Bakhtiar. Filsafat ilmu. 2005. Jakarta : Raja Grafindo Persada

Franz Magnis Suseno. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. 2010. Yogyakarta: Kanisius

Prof. Dr. A.G.M van Melsen. Ilmu Pengetahuan Dan Tanggung Jawab Kita. 1992.  Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Prof. Dr. H. Bachri Ghazali, Dkk. Filsafat Ilmu. 2005. Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga

Rizal Mustansyur dan Misnal Munir. Filsafat Ilmu. 2009. Yogyakarta: Pustaka Pelajar


1 komentar:

  1. Pokies Casino Review – A Warning - Poormans
    This is one of 벳 365 우회 the 가상 화폐 추천 best casinos 포커 스트레이트 around for your players. 스핀토토 When you look at the quality of online slot machines 커뮤니티 모음 and its many features, then there is no

    BalasHapus