SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA. Karena Ilmu Pengetahuan Lebih Berharga daripada Segenggam Berlian
Senin, 08 Desember 2014
Jumat, 05 Desember 2014
Rabu, 03 Desember 2014
Selasa, 02 Desember 2014
Analisis Materi Ajar Kimia SMA
ANALISIS MATERI AJAR DAN PEMBELAJARAN KIMIA
DI SMA NEGERI 17 MEDAN
Oleh
Junando Pandiangan
Pendidikan Kimia, Pascasarjana Unimed
ABSTRAK
Penelitian ini dilaksanakan pada
tanggal 23 dan 24 September 2013 di SMA Negeri 17 Medan. Penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis materi ajar dan Proses belajar mengajar Kimia di
SMA Negeri 17 Medan. Populasi dan sampel penelitian ini adalah SMA Negeri 17
Medan dan Kelas XII. Teknik analisis data yang digunakan adalah penelitian
survey dengan alat pengumpul data adalah angket kepada siswa kelas XII sebanyak
35 dan angket untuk guru yang dilengkapi dengan dokumentasi dan wawancara.
Hasil Penelitian ini menunjukkan masalah bahan ajar (penggunaan buku pelajaran
yang belum dioptimalkan), masalah proses pembelajaran di dalam kelas (yaitu
faktor siswa dan guru), masalah pemanfaatan fasilitas sekolah untuk mendukung
pembelajaran, masalah motivasi guru untuk bekerja keras untuk menghasilkan
pembelajaran yang baik.
Kata Kunci : Bahan ajar, Pembelajaran Kimia, Fasilitas
Belajar, Kurikulum.
PENDAHULUAN
Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab (UU No.20 Tahun 2003 Pasal 3 Pendidikan
Nasional). Jelas dinyatakan bahwa tujuan pendidikan bangsa Indonesia adalah
mengembangkan potensi peserta didik.
Keterkaitan pencapaian potensi siswa yang ditandai dalam sembilan aspek, yaitu
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab, untuk itu pemerintah melalui pendidikan
mengupayakan adanya pendidikan berkarakter.
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai
karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran
atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik
terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun
kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil. Dalam pendidikan
karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan,
termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses
pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata
pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan
ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja
seluruh warga dan lingkungan sekolah.
Dari berbagai komponen pendidikan, peneliti tertarik dalam lima hal yaitu
kurikulum, proses pembelajaran, penilaian, pemberdayaan sarana prasarana, serta
ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah. Kelima komponen ini memiliki
keterkaitan yang sangat dekat dalam meningkatkan suatu mutu pendidikan. Namum
bukan berarti komponen pendidikan yang lain tidak mendukung. Atau dengan kata
lain kelima komponen ini seperti ujung tombak untuk mencapai tujuan pendidikan.
Penyusunan KTSP oleh sekolah dimulai tahun
ajaran 2007/2008 dengan mengacu pada Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi
Kelulusan (SKL) untuk pendidikan dasar dan menengah sebagaimana yang
diterbitkan melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional masing-masing Nomor
22 Tahun 2006 dan Nomor 23 Tahun 2006, serta Panduan Pengembangan KTSP yang
dikeluarkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). BSNP berfungsi
sebagai bahan acuan bagi Depdiknas dalam mengeluarkan beberapa kebijakan
nasional.
Pada prinsipnya, KTSP merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari SI, namun pengembangannya diserahkan kepada sekolah
agar sesuai dengan kebutuhan sekolah itu sendiri. KTSP terdiri dari tujuan
pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum tingkat
satuan pendidikan, kalender pendidikan, dan silabus. Pelaksanaan KTSP mengacu
pada Permendiknas Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan SI dan SKL
Pemberlakuan KTSP, sebagaimana yang
ditetapkan dalam peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 24 Tahun 2006
tentang Pelaksanaan SI dan SKL, ditetapkan oleh kepala sekolah setelah
memperhatikan pertimbangan dari komite sekolah. Dengan kata lain, pemberlakuan
KTSP sepenuhnya diserahkan kepada sekolah, dalam arti tidak ada intervensi dari
Dinas Pendidikan atau Departemen Pendidikan Nasional. Penyusunan KTSP selain
melibatkan guru dan karyawan juga melibatkan komite sekolah serta bila perlu
para ahli dari perguruan tinggi setempat. Dengan keterlibatan komite sekolah
dalam penyusunan KTSP maka KTSP yang disusun akan sesuai dengan aspirasi
masyarakat, situasi dan kondisi lingkungan dan kebutuhan masyarakat.
Pemberian otonomi ini, akan memberi
peluang bagi setiap sekolah mengembangkan kurikulum, silabus, indikator, dan
materi pembelajaran sesuai dengan situasi, kondisi, dan potensi unggulan
sekolah, namun harus tetap mengacu pada Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar
yang telah ditetapkan BSNP untuk tiap mata pelajaran (Hanafie, 2008).
Komponen-komponen KTSP terdiri dari 1) tujuan yang berisi visi dan misi, 2)
Struktur dan muatan kurikulum, 3) kalender pendidikan, dan 4) lampiran silabus
dan rencana pembelajaran.
Pelaksanaan KTSP ini menuntut kesiapan
guru untuk berinovasi dan berkreasi dalam mengembangkan kurikulum di sekolahnya
dan harus meninggalkan cara lama yang hanya bergantung pada petunjuk teknis
(Suharto, 2008). Dalam hal ini guru harus mampu mengembangkan proses
pembelajaran yang sesuai dengan lingkungan sekolah.
Proses pembelajaran adalah sebuah upaya
bersama antara pengajar dan pembelajar untuk berbagi dan mengolah informasi dengan
tujuan agar pengetahuan yang terbentuk ter-“internalisasi” dalam diri
peserta pembelajaran dan menjadi landasan belajar secara mandiri dan
berkelanjutan. (Yusuf Yudi Prayudi, 2007). Maka kriteria keberhasilan sebuah
proses pembelajaran adalah munculnya kemampuan belajar berkelanjutan secara
mandiri.
Sementara itu, proses pembelajaran sampai
saat ini masih banyak yang menggunakan metode pembelajaran konvensional, yang
justru metode itu semakin terbelakang dalam mencapai keberhasilan pembelajaran.
Padahal kita tahu, proses pemebelajaran mempunyai perananan vital dalam
mencapai keberhasilan pendidikan. Belum lagi keterkaitan sarana prasanan yang
memberikan pengaruh dalam keberhasilan pembelajaran di kelas, serta penilaian
yang digunakan sebagai tolak ukur dalam menyatakan keberhasilan.
Dalam hal lain, ethos kerja merupakan
modal utama dalam meningkatkan pendidikan. Artinya dengan ethos kerja yang
tinggi, kekurangan dalam sarana dan prasarana, serta metode pembelajaran dapat
diatasi. Tapi dalam berbagai pengamatan dalam kesempatan lain, kita melihat
etos kerja yang masih sangat minim. Jadi lengkaplah bahwa setiap modal yang
dibutuhkan masih jauh dari apa yang diharapkan.
Sesuai dengan karakteristiknya,
pengembangan KTSP di tentukan oleh tingkat satuan pendidikan itu sendiri yang
disesuaikan dengan potensi lingkungannya, maka pembelajaran Kimia di SMA
dilaksanakan sesuai kebutuhan masing-masing. Oleh karena itu, peneliti tertarik
untuk melakukan menganalisis Pelaksanaan KTSP dalam Pembelajaran Kimia di SMA
Negeri 17 Medan.”
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian
survey. Penelitian survey adalah penelitian yang mengambil sample dari satu
populasi dan menggunakan kuisioner sebagai alat pengumpul data yang pokok
(Singarimbun, 1998). Survei merupakan studi yang bersifat kuantitatif yang
digunakan untuk meneliti gejala suatu kelompok atau perilaku individu. Survey
adalah suatu desain yang digunaan untuk penyelidikan informasi yang berhubungan
dengan prevalensi, distribusi dan hubungan antar variabel dalam suatu populasi.
Pada survey tidak ada intervensi, survey mengumpulkan informasi dari tindakan
seseorang, pengetahuan, kemauan, pendapat, perilaku, dan nilai (M. Basirun,
2009).
Data diperoleh melalui angket kepada siswa dan guru, serta berupa dokumen
RPP, Silabus dan lain-lain yang dikumpulkan dari kepala sekolah dan guru.
Populasi penelitian sekaligus sampel dalam penelitian ini adalah guru kimia di
SMA Negeri 17 Medan dan siswa kelas XII
IA-1 sebanyak 35 orang.
HASIL DAN PEMBAHASAN
a.
Bahan Ajar
Berdasarkan hasil pengamatan yang
dilakukan pada sekolah yang diteliti, guru dan siswa menggunakan buku BSE yaitu
BELAJAR KIMIA Membuka Cakrawala Alam Sekitar, Saeful Karim, dkk, tahun 2008.
Buku ini digunakan karena hasil dari pengadaan dana BOS (Bantuan Operasiona
Siswa). Berkaitan dengan dana BOS, guru juga kurang memberikan latihan karena
tidak diperbolehkan penjulan buku-buka lain seperti buku Lembar Kerja Siswa
(LKS). Akhirnya siswa hanya mendapat pelajaran dari buku yang mereka gunakan
dan apa yang disampaikan guru di depan kelas.
b. Pembelajaran di Kelas
Dari penelitian, diperoleh data sebagai
berikut:
Hasil Angket pada Siswa
No
|
P e r n y a t a a n |
Ya
|
Tidak
|
1
|
Pada pertemuan pertama, nampak Guru, berusaha menjelaskan apa yang akan
dipelajari siswa dalam satu semester termasuk cara penilaiannya
|
67%
|
33%
|
2
|
Guru nampak berusaha menyiapkan materi dengan sebaik-baiknya untuk
diajarkan
|
85%
|
15%
|
3
|
Guru nampak bersungguh-sungguh dalam mengajar, agar materi yang
dibawakannya dapat dimengerti siswa
|
65%
|
35%
|
4
|
Guru nampak berusaha menjelaskan bahwa secara umum bahan pelajarannya
akan bermanfaat sebagai bahan dasar dalam kehidupan sehari-hari
|
23%
|
77%
|
5
|
Guru sering memberi tugas / pekerjaan rumah / bahan diskusi yang lebih
bersifat membantu siswa dalam memahami materi pelajaran
|
16%
|
84%
|
6
|
Guru nampak berusaha dengan caranya agar siswa tertarik mengikuti
pelajarannya
|
62%
|
38%
|
7
|
Guru memakai buku acuan / bahan ajar yang mana memang membantu siswa
dalam menguasai materi pelajaran
|
22%
|
78%
|
8
|
Dalam memberi
kesempatan bertanya baik di kelas maupun diluar guru bersifat obyektif tanpa
memandang suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin
|
91%
|
9%
|
9
|
Soal midtest dan / atau ujian yang diberikan guru sesuai dengan materi
yang disampaikan
|
90%
|
10%
|
10
|
Secara umum,
guru dinilai cukup baik dalam melakukan proses belajar mengajar
|
62%
|
38%
|
Hasil Angket Pada Guru
No
|
P e r n y a t a a n |
Ya
|
Tidak
|
1
|
Apakah buku materi ajar Ibu Guru telah sesuai dengan silabus Badan
Standar Nasional Pendidikan (BSNP)
|
√
|
|
2
|
Apakah materi pelajaran Kimia yang disampaikan Ibu Guru telah sesuai
dengan buku pegangan KIMIA
|
√
|
|
3
|
Apakah Ibu Guru melakukan diskusi dalam pembelajaran KIMIA
|
√
|
|
4
|
Apakah Ibu Guru memberikan pengulangan pelajaran Kimia kepada siswa
|
√
|
|
5
|
Menurut Ibu Guru, Apakah pelajaran kimia merupakan pelajaran sulit untuk
diajarkan kepada siswa
|
√
|
|
6
|
Apakah Ibu Guru sering memberikan tugas pelajaran KIMIA yang berhubungan
dengan kimia kepada para siswa
|
√
|
|
7
|
Apakah metode mengajar ceramah tepat untuk pelajaran Kimia yang
disampaikan oleh Ibu Guru
|
√
|
|
8
|
Apakah Ibu Guru pernah menggunakan model pembelajaran ke alam untuk
pembelajaran Kimia
|
√
|
|
9
|
Apakah Ibu Guru menggunakan media/alat peraga saat pembelajaran Kimia
yang berhubungan dengan kimia
|
√
|
|
10
|
Apakah siswa-siswi Ibu Guru antusias dalam pembelajaran Kimia
|
√
|
a. Faktor Siswa
Berdasarkan hasil angket dan wawancara yang diperoleh dari guru dan siswa
bahwa siswa tidak antusias terhadap pelajaran kimia. Siswa masih menganggap pelajaran kimia itu sulit
dan sangat membosankan. Hal ini mungkin diakibatkan karena siswa merasa
pelajaran kimia sebagai imajiner. Disamping itu, cara mengajar guru
masih konvensional sehingga minat siswa tidak ada.
● Solusi
Para guru hendaknya menerapkan model pembelajaran yang mampu menarik perhatian
siswa dengan membuat variasi dalam pembelajaran, misalnya dengan mengadakan
pembelajaran ke alam untuk materi-materi pelajaran Kimia tertentu sehingga
siswa tidak merasa jenuh dan bosan. Guru sebaiknya pula memberikan
menghubungkan pelajaran kimia yang dipelajari dengan kehidupan sehari-hari dan
menghubungkan pelajaran dengan kegunaan dalam kehidupan.
b. Faktor Guru
Berdasarkan hasil angket dan wawancara yang diperoleh dari guru, guru merasa
metode mengajar ceramah tepat untuk pembelajaran Kimia kepada siswa karena
siswa kurang mampu untuk memahami pelajaran Kimia bila tidak dijelaskan oleh
guru. Hal ini disebabkan guru telah terbiasa dengan keadaan pembelajaran yang
lama tanpa modifikasi, Selain itu, guru
juga tidak menggunakan media pembelajaran, karena, berdasarkan wawancara, guru
mengalami kesulitan dalam membuat media pembelajaran.
● Solusi
Pihak sekolah sebaiknya memberikan pelatihan-pelatihan bagi para guru di
sekolah untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuan guru dalam
mengembangkan kegiatan pembelajaran di sekolah terutama dalam pengembangan
silabus dari BSNP agar kegiatan pembelajaran tidak monoton. Adapun
pelatihan-pelatihan tersebut dapat berupa diklat atau penataran, “workshop”,
dan pelatihan lapangan. Dengan adanya pelatihan-pelatihan tersebut, guru
diharapkan telah mampu memodifikasi kegiatan pembelajarannya termasuk dalam
penggunaan media pembelajaran.
c.
Fasilitas Belajar
Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh peneliti, SMA Negeri 17 Medan
memiliki ruang kelas yang cukup baik dan memiliki perpustakaan, laboratorium
komputer dan layanan wifi serta juga laboratorium KIMIA.
Perpustakaan yang dimiliki SMA Negeri 17 Medan boleh dikatakan baik dengan
kumpulan buku yang cukup lengkap untuk setiap mata pelajaran, baik buku yang
lama bahkan untuk terbitan terbaru. Di dalam perpustakaan juga disediakan 1
buah komputer yang terhubung dengan jaringan internet. Namun, siswa tidak
pernah menggunakan perpustakaan. Berdasarkan wawancara dengan petugas
perpustakaan, B. Sumbayak S.Pd, siswa memasuki perpustakaan hanya pada
saat pembagian buku di awal tahun pembelajaran.
Demikian juga denga laboratorium komputer serta jaringan wifi tidak
dimanfaatkan siswa untuk mencari informasi dan bahan pembelajaran yang
mendukung pembelajaran di kelas.
Dalam laboratorium KIMIA tidak lengkap, yang ada bahan-bahan yang sudah sangat
lama, dan alat-alat juga tidak memadai. Penggunaan laboratorium KIMIA juga
jarang bahkan hampir tidak pernah untuk pelajaran Kimia. Selain itu, penggunaan
ruang Laboratorium KIMIA itu sendiri sering dijadikan ruang rapat guru dan
OSIS.
· Solusi
Untuk fasilitas sekolah sudah cukup memadai, hanya saja siswa tidak terlibat
dalam menggunakan fasilitas yang ada. Mungkin karena kurangnya sosialisasi
untuk menggunakan fasilitas yang ada. Jadi, sekolah dengan bantuan guru BK
memberikan motivasi kepada siswa untuk menggunakan fasilitas perpustakaan, dan
layanan internet.
Sementara itu, untuk penggunaan laboratorium KIMIA, guru kimia seharusnya
menggunakan model demonstrasi untuk pelajaran Kimia sebagai variasi atau
pendukung pelajaran Kimia di dalam kelas.
d.
Kurikulum
Untuk menganalisis kurikulum dan pembagian pelajaran kimia, peneliti melakukan
wawancara dengan PKS kurikulum, yaitu Drs. Sihol Sinaga. Sekolah ini
menggunakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan sesuai dengan Kurikulum Program
Dinas Pendidikan. Sekolah dalam melaksanakan kurikulum dengan berpedoman pada
BNSP. Sementara itu, untuk kesiapan guru untuk melaksanakan pembeljaran di
kelas, sekolah melakasanan MGMP sebelum memasuki tahun ajaran baru. Adapun
dalam kegiatan MGMP tersebut, guru-guru masing mata pelajaran membuat
perlengkapan mengajar seperti Silabus, Program Tahunan, Program Semester,
Rincian Minggu Efektif, dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran dan juga
melaksanakan Peer Teaching untuk tiap mata pelajaran.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil angket dan wawancara yang telah dilakukan selama penelitian
maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1.
Masalah-masalah yang
ditemukan di SMA Negeri 17 Medan meliputi:
·
Masalah bahan ajar
(penggunaan buku pelajaran yang belum dioptimalkan).
·
Masalah proses pembelajaran
di dalam kelas (yaitu faktor siswa dan guru).
·
Masalah pemanfaatan fasilitas
sekolah untuk mendukung pembelajaran
·
Masalah motivasi guru untuk
bekerja keras untuk menghasilkan pembelajaran yang baik.
Saran
Saran yang dapat
diberikan dalam penelitian ini adalah :
1.
Bagi sekolah sebaiknya
meningkatkan kerjasama antara elemen-elemen stakeholder sekolah agar mampu
menghasilkan kompetensi lulusan yang baik dan memuaskan.
2.
Bagi sekolah umumnya dan para
guru khususnya diharapkan dapat menggunakan model pembelajaran sebagai
alternatif untuk meningkatkan aktivitas siswa dalam kegiatan pembelajaran
dengan memperhitungkan waktu yang tersedia, sehingga kejenuhan dalam belajar
tidak terjadi.
3.
Bagi sekolah sebaiknya
memberikan sosialisasi kepada siswa untuk menggunakan fasilitas yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Hanafie, Imam, (2008), http://researchengines.com/imamhanafie3-07-2.html
Senin, 01 Desember 2014
Filsafat Ilmu : Prinsip Bebas Nilai dan Cara Mengatasinya
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu pengetahuan terus berkembang
mengikuti perkembangan zaman. Namun, akibat perkembangan dan tuntutan zaman
obyektifitas terhadap ilmu pengetahuan pun menjadi problematika dalam kebutuhan
zaman sekarang ini. Dikarenakan, penggunaan ilmu pengetahuan dalam kehidupan
akan berdampak besar terhadap hasil dari suatu proses aplikasi ilmu.
Aturan – aturan sosial juga ingin berperan
dalam ilmu pengetahuan. Sehingga juga sangat mempengaruhi dalam proses
penggunaan ilmu pengetahuan ke dalam kehidupan. Proses pemerolehan ilmu
pengetahuan dari dahulu sampai sekarang dilakukan tanpa nilai etika. Meskipun
menurut para ahli sendiri terdapat pro dan kontra mengenai “Ilmu yang Bebas
Nilai dan Ilmu yang Terikat Nilai”.
Masalah etika yang dilanggar para Ilmuwan banyak mengorbankan nyawa makhluk hidup lain, bahkan nyawa manusia, semata-mata untuk mendapatkan nilai kebenaran. Sebagai contohnya dalam masalah medis, kelinci, katak, monyet, dan sebagainya adalah hewan yang paling banyak dikorbankan. Untuk masalah teknologi manusialah yang menanggung akibatnya, misalnya uji senjata nuklir dan sebagainya. Tetapi yang paling menggelitik adalah nyawa makhluk lain selain manusia, yang tak berdaya mempertahankan hidupnya, oleh berbagai percobaan ilmu pengetahuan.
Masalah etika yang dilanggar para Ilmuwan banyak mengorbankan nyawa makhluk hidup lain, bahkan nyawa manusia, semata-mata untuk mendapatkan nilai kebenaran. Sebagai contohnya dalam masalah medis, kelinci, katak, monyet, dan sebagainya adalah hewan yang paling banyak dikorbankan. Untuk masalah teknologi manusialah yang menanggung akibatnya, misalnya uji senjata nuklir dan sebagainya. Tetapi yang paling menggelitik adalah nyawa makhluk lain selain manusia, yang tak berdaya mempertahankan hidupnya, oleh berbagai percobaan ilmu pengetahuan.
Dalam ranah filsafat ilmu, ada topik yang
hingga saat ini masih diperdebatkan. Topik tersebut adalah: apakah ilmu itu
bebas nilai (value-free) alias netral, atau sebaliknya, ilmu itu
sarat akan nilai (value-laden)? Tidak sedikit respon yang bermunculan
dalam menanggapi hal ini dengan argument yang pun beragam.
Topik di atas tampaknya tidak sederhana
karena setiap jawaban punya implikasi, tidak hanya dalam ranah filsafat ilmu
saja. Banyak sekali aspek kehidupan manusia yang diatur secara langsung oleh
ilmu. Jadi, paham bahwa ilmu itu value-free atau ilmu itu value-laden, akan mempengaruhi kehidupan manusia
secara langsung (Ahmad Tafsir, 2010: 46, dan Harold Kincaid dkk., 2007: 4).
Ilmu yang dimaksud di sini adalah berbagai
macam disiplin ilmu pengetahuan, baik ilmu alam, ilmu sosial, atau ilmu
humaniora. Sedangkan untuk memahami maksud kata “nilai” (value)—memperhatikan penggunannya yang beragam
dan kompleks, kita bisa melihatnya dari segi makna kata dan pendapat para ahli.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:
1004) kata “nilai” mempunyai beberapa arti, salah satunya adalah “sifat-sifat
(hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan.” Kata “nilai”
untuk bahasa Inggris adalah “value”. Dalam Oxford Advanced
Learner’s Dictionary edisi keenam (2000: 1493) kata value juga
mempunyai beberapa arti, salah satunya adalah “beliefs about what is right
and wrong and what is important in life”. (kepercayaan atau keyakinan
mengenai apa yang benar dan salah, serta apa yang penting dalam kehidupan). Dua
pengertian tersebutlah—sebagaimana akan dijelaskan nanti—yang sesuai dalam
pembahasan ini, karena pengertian lain yang terdapat dalam dua kamus tersebut
berkaitan dengan harga (uang), dan angka.
Pengertian di atas sejalan dengan yang
dijelaskan oleh Harold Kincaid dkk. (2007: 10), bahwa yang dimaksud “nilai” adalah berbagai hal yang oleh individiu-individu
dipandang berharga atau mesti dipromosikan, dikembangkan dan direalisasikan.
Dalam pengertian ini, “nilai” tidak hanya mengenai nilai moral, etis, atau
politis, tapi juga nilai epistemis.
Terdapat penjelasan yang beragam mengenai
ilmu bebas nilai (value-free science),namun bukan berarti kontradiktif.
Menurut Ahmad Tafsir (2010: 46), istilah ilmu bebas nilai berarti bahwa
ilmu itu netral, tidak memihak pada kebaikan dan tidak juga pada kejahatan.
Sedangkan menurut Harold Kincaid dkk. (2007: 4), maksud ilmu bebas nilai adalah bahwa suatu penyataan ilmiah (scientific claim) tidak terikat pada pandangan moral dan
politik seseorang. Ini karena tugas ilmu adalah menyampaikan fakta-fakta, dan
benar-salahnya pernyataan ilmiah tergantung pada bukti. Dan bebas nilai atau
netral menurut F. Budi Hardiman (2003: 173) adalah tidak berprasangka, tidak
memberikan penilaian baik atau buruk, dan bebas dari kepentingan-kepentingan
manusiawi. Ilmu bebas nilai atau netral juga mengandung arti bahwa suatu teori
ilmu bisa digunakan oleh siapa saja, kapan saja, dimana saja, dan untuk apa
saja.
Pandangan ilmu bebas nilai merupakan ciri modernitas dan melekat pada pemikiran positivisme. Ini bukan tanpa alasan.
Empirisme dan rasionalisme yang merupakan cikal bakal positivisme berusaha
keras memperoleh teori yang bersifat ilmiah, teori murni. Keduanya berkeyakinan
bahwa teori tersebut mungkin diperoleh dengan jalan membersihkan pengetahuan
dari dorongan dan kepentingan manusiawi.
Kemudian lahirlah positivisme, yang merupakan puncak pembersihan pengetahuan dari
kepentingan dan awal pencapaian cita-cita untuk memperoleh pengetahuan demi
pengetahuan, yaitu teori yang dipisahkan dari praksis hidup manusia.Positivisme
menganggap pengetahuan mengenai fakta yang objektif sebagai pengetahuan yang
sahih (F. Budi Hardiman, 2009: 25).
Objektif, ahistoris (tidak
menyejarah), dan netral adalah di antara kriteria ilmu bebas nilai yang
didambakan positivisme. Objektif
berarti ilmu sesuai dengan kenyataan. Ahistoris berarti teori yang
diciptakannya universal, berlaku di mana saja, dalam berbagai keadaan, dan
kapan saja. Netral berarti teori adalah deskripsi murni tentang fakta atau
objek, yang merupakan “pengetahuan demi
pengetahuan”.
Teori tidak dapat mempengaruhi atau mengubah objeknya, sedangkan objeknya
adalah merupakan sesuatu yang tidak berubah, sehingga tidak mempengaruhi
kegiatan untuk memperoleh teori murni.
Bagi F. Budi hardiman (2003: 173)
watak-watak tersebut merupakan pembawa nilai-nilai modern yang paling mendasar
di kalangan komunitas ilmiah, seperti sikap tak berpihak, toleran, rasional,
dan demokratis, karena penelitian ilmiah bagaimanapun meyakini adanya kebenaran
objektif yang tidak tergantung pada perspektif dan autoritas subjektif.
Ilmu bebas nilai sepertinya sudah menjadi
pandangan umum. Ini terlihat dari banyaknya teori, metodologi, dan
konten/produk ilmu yang diciptakan Barat menyebar ke seluruh penjuru dunia.
Orang-orang dewasa ini dengan bangga menyebut sebagai “Kebudayaan ilmiah modern
(Scientific Civilization)”. Hampir setiap negara dan masyarakat
dewasa ini mengarahkan proses modernisasinya ke sana.
Namun seiring perjalanan waktu, pandangan ilmu
bebas nilai tidak lepas dari kritik. Hal tersebut terjadi terutama setelah
terjadi Perang Dunia I dan II. Ini dilihat dari sisi aksiologis ilmu, bahwa
ternyata ilmu bukan saja digunakan untuk menguasai alam melainkan juga untuk
memerangi sesama manusia dan menguasai mereka.
Dengan berpijak pada objektivitas dan
netralitas ilmu maka penguasaan alam atas nama ilmu pengetahuan mutlak menjadi
sebuah keharusan. Pada gilirannya adalah penguasaan manusia lain atas nama ilmu
pengetahuan dan teknologi oleh manusia lainnya.
Di Jerman, lahir Teori Kritis Mazhab
Frankfurt yang merupakan kontra positivisme dan menolak pandangan ilmu bebas
nilai. Menurut mazhab ini, di belakang selubung objektivitas ilmu-ilmu,
tersembunyi kepentingan-kepentingan kekuasaan (Asep Ahmad Hidayat, 2009: 207).
Salah satu pendiri Teori Kritis, Herbert Marcuse, menyoroti bagaimana
rasionalitas modernitas berfungsi sebagai ideologi dan dominasi. Ia juga
menegaskan bahwa cara berpikir para ilmuwan masyarakat modern telah membeku
menjadi ideologi dan mitos (F. Budi Hardiman, 2009: 73). Menjadi ideologis
karena penganut positivisme mengklaim bahwa hanya metodenya-lah yang
memungkinkan kebenaran objektif tentang fakta.
Pakar yang lain, Gerald Doppelt (dalam
Harold Kincaid dkk., 2007: 189-191) menyatakan bahwa komitmen nilai dan
kepentingan praktis yang dimiliki manusia memberikan pengaruh pada
praktek-praktek keilmuan, tidak hanya epistemis tapi juga non-epistemis. Dalam
ranah epistemis, komitmen nilai dan kepentingan bisa menentukan pengetahuan
yang kita cari; motif dalam mempraktekkan ilmu; konsep, metode, atau hipotesis
yang digunakan; pertanyaan dan problema tertentu yang dipecahkan; dan dalam hal
apa kegunaan ilmu pengetahuan diterapkan. Dan dalam ranah non-epistemis,
komitmen nilai dan kepentingan menentukan tujuan pencarian bantuan dana
keilmuwan atau dukungan, raihan penghargaan atau pengakuan bagi karya ilmiah,
pembagian tugas keilmuan, lembaga yang membangun kerja ilmiah, pendidikan dan
latihan para ilmuwan, dan komposisi komunitas ilmiah yang bersifat golongan,
kesukuan, etnis, gender dan agama.
Pengaruh nilai dalam ranah epistemis juga
dikemukakan oleh Ahmad Tafsir (2010: 47). Dan tidak hanya itu, nilai juga akan
menentukan dalam ranah ontologis dan aksiologis. Dalam pandangannya, nilai akan
menentukan dalam:
1) memilih objek penelitian,
2) cara meneliti, dan
3) menggunakan hasil penelitian.
Masih dalam ranah epistemis, Hamid Fahmi
Zarkasyi (2005) berpandangan bahwa ilmu tidak bebas nilai, justru sebaliknya,
yaitu sarat akan nilai. Pandangannya bertolak dari konsep worldview (pandangan dunia). Menurutnya, ilmu dalam
tradisi manapun tidak lahir secara tiba-tiba. Fondasi bagi lahirnya suatu
disiplin ilmu adalah worldview yang memiliki konsep-konsep keilmuan. Worldview ilmiah ini kemudian
menghasilkan tradisi intelektual (tradisi ilmiah) dalam masyarakat dan
selanjutnya lahirlah disiplin ilmu.
Sedikitnya terdapat lima bagian penting
struktur worldview, yaitu struktur:
1) tentang kehidupan,
2) tentang dunia,
3) tentang manusia,
4) tentang nilai, dan
5) tentang pengetahuan.
Gabungan dari struktur kehidupan, dunia
dan pengetahuan akan melahirkan struktur nilai, di mana konsep-konsep tentang
moralitas berkembang. Setelah keempat struktur itu terbentuk dalam pandangan
hidup seseorang, maka strutktur tentang manusia akan terbentuk secara otomatis.
Meskipun proses akumulasi kelima struktur
di atas dalam pikiran seseorang tidak selalu berurutan, tapi yang perlu dicatat
bahwa kelima struktur itu pada akhirnya menjadi suatu kesatuan konseptual dan
berfungsi tidak saja sebagai kerangka umum dalam memahami segala sesuatu
termasuk diri kita sendiri, tapi juga mendominasi cara berpikir kita. Di sini,
dalam konteks lahirnya ilmu pengetahuan di masyarakat, struktur pengetahuan
merupakan asas utama dalam memahami segala sesuatu. Ini berarti bahwa teori
atau konsep apapun yang dihasilkan seseorang dengan worldview tertentu akan merupakan refleksi dari
struktur-struktur worldview di atas. Inilah alasan mengapa ilmu tidak bebas nilai.
B.
Perumusan Masalah
1. Apa problem etis dalam ilmu pengetahuan?
2. Bagaimana sebenarnya prinsip bebas nilai dan terikat nilai dalam ilmu
pengetahuan?
3. Apa saja jalan keluar untuk
mengatasi masalah bebas nilai?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Problem Etis Dalam Ilmu
Pengetahuan
Rasional ilmu pengetahuan terjadi sejak
Rene Descartes dengan sikap skeptis - metodisnya meragukan segala
sesuatu, kecuali dirinya sedang ragu – ragu (cogito ergo sum). Sikap ini
berlanjut pada masa Aufklarung, suatu era yang merupakan usaha manusia untuk
mencapai pemahaman rasional tentang dirinya dan alam.
Weber menyatakan bahwa ilmu sosial harus
bebas nilai, tetapi ilmu – ilmu sosial harus menjadi nilai yang relevan. Nilai
– nilai itu harus di implikasikan oleh bagian – bagian praktis ilmu sosial jika
praktik itu mengandung tujuan atau rasional. Habermas berpendirian teori
sebagai produk ilmiah tidak pernah bebas nilai. Pendidirian ini diwarisi
Habermas dari pandangan Husserl yang melihat fakta atau ojek alam diperlukan
oleh ilmu pengetahuan sebagai kenyataan yang sudah jadi. Habermas menegaskan
lebih lanjut bahwa ilmu pengetahuan alam terbentuk berdasarkan kepentingan
teknis. Ilmu pengetahuan alam tidaklah netral, karena isinya tidak lepas sama
sekali dari kepentingan praktis. Kepentingannya adalah memelihara serta
memperluas bidang alaing pengertian antar manusia dan perbaikan komunikasi.
Kepentingan itu bekerja pada tiga bidang, yaitu pekerjaan, otoritas, dan
bahasa. Pekerjaan merupakan ilmu pengetahuan alam, otoritas merupakan kepentingan
ilmu sosial, dan bahasa merupakan kepentingan ilmu sejarah dan
hermeneutika.
B. Kontroversi Masalah Bebas Nilai
Akhir-akhir ini banyak dijumpai pasangan
suami isteri yang sudah puluhan tahun menikah, tetapi belum dikaruniai
keturunan datang kepada dokter ahli kandungan (spesialis reproduksi, obstetri,
dan ginekologi). Tentunya pasangan suami isteri itu datang dengan membawa
impian, setelah keluar dari ruang dokter spesialis kandungan mereka memperoleh
alternatif solusi yang membantu mereka agar segera bisa menimang momongan.
Alternatif solusi tersebut adalah bayi tabung.
Penemuan metode bayi tabung sebagai solusi bagi
para pasangan suami isteri yang menginginkan keturunan di luar cara reproduksi
alamiah tersebut memang cukup diterima oleh masyarakat. Para pasangan yang
tadinya sulit memperoleh momongan karena kelainan yang terjadi dalam organ
reproduksi mereka atau disebabkan faktor usia serta berbagai faktor lainnya,
kini bisa memperoleh keturunan melalui proses bayi tabung. Penemuan dalam
bidang reproduksi itu pun kemudian disusul dengan penemuan lain yang lebih
spektakuler lagi, yakni kloning (reproductive cloning). Dengan reproductive
cloning, dimungkinkan adanya proses duplikasi manusia, bahkan dengan
disertai motivasi untuk mendapatkan kulitas individu yang sempurna. Namun,
untuk penemuan yang terakhir itu, masih tersisa kontoversi yang menyertainya.
Dalam sebuah kuliah umum yang berbicara tentang
perkembangan teknik reproduksi buatan yang ditinjau dari kaca mata etika dan
hukum, disampaikan sebuah ilustrasi yang menggambarkan fenomena futuristik yang
mungkin terjadi 1 abad, 50 tahun, atau mungkin bahkan hanya dalam waktu 10
tahun yang akan datang. “Nantinya telah dibuka ‘mall genetics sebagai bentuk
perseroan (bisnis), minimal dalam bentuk kooperasi kedokteran (badan usaha),
untuk merangkai kesempurnaan genetik, sebagai ekspresi genetik pesanan bagi
bayi yang diidamkan oleh seorang ‘gadis’, atau seorang ‘pemuda’, sebagi ‘single
parent’, sebagai ekspresi kasih sayang manusia di abad itu.” (Moeloek,
F.A, “Etika dan Hukum Teknik Reproduksi Buatan”, disampaikan pada Kuliah Umum
Temu Ilmiah I Fertilitas Endokrinologi Reproduksi, Bandung, 4-6 Oktober 2002).
Ilustrasi tersebut ingin mengatakan bahwa dengan perkembangan sains dan
teknologi dalam ranah ilmu pengetahuan bukan tidak mungkin apa yang sebelumnya
tak pernah dipikirkan manusia dalam masalah yang selama ini dianggap sebagai
urusan Yang Kuasa semata, nantinya bisa menjadi kenyataan. Saat ini kloning
masih menjadi kontroversi, entah bagaimana nanti yang terjadi di tahun 2020.
Keniscayaan teknik reproduksi yang semakin canggih karena berkembangnya ilmu
pengetahuan bisa jadi tidak akan sekedar menjadi wacana.
Dengan penemuan-penemuan yang begitu
spektakuler dan fenomenal, ilmu pengetahuan memang semakin menemukan jati
dirinya. Namun, nilai lain
tidak bisa dimungkiri berpotensi pula mencampuri otonomi ilmu pengetahuan itu
sendiri. Moralitas, etika, dan hukum yang berlaku dalam konteks sosial dan
berkembang dalam kehidupan publik mau tidak mau ikut mewarnai perkembangan ilmu
pengetahuan, meskipun intervensi tersebut telah diminimalisir. Terkait dengan
hal itu, perdebatan yang selalu menarik dalam membicarakan ilmu pengetahuan dan
kontroversi setiap penemuan yang dilahirkannya adalah masalah ‘bebas nilai.’ Di
satu sisi ilmu pengetahuan hendak berkembang secara independen, dengan tanpa
memerhatikan nilai lain di luar dirinya. Namun, di sisi lain tidak bisa
dielakkan ada nilai tertentu yang menyertai perkembangannya (politik, religius,
maupun moral). Hingga akhirnya perdebatan tentang ‘bebas nilai’ dalam ilmu
pengetahuan dirasa sia-sia karena pada faktanya ilmu pengetahuan itu sendiri
terbebani oleh nilai-nilai yang menyertainya pada zaman dan konteks
berlembangnya ilmu pengetahuan itu sendiri. Dalam kasus ini, kloning menjadi
salah satu contohnya. Kontroversi yang mencakup nilai moral, etika, serta hukum
di dalamnya menjadi satu bukti nyata yang mengerucut pada relevansi bebas nilai
dalam ilmu pengetahuan.
C. Tinjauan Teoretis Masalah ‘bebas nilai’
Dalam Ilmu Pengetahuan
Sejak saat pertumbuhannya, ilmu sudah terkait
dengan masalah moral. Ketika Copernicus (1473-1543) mengajukan teorinya tentang
kesemestaan alam dan menemukan bahwa “bumi yang berputar mengelilingi matahari”
dan bukan sebaliknya seperti yang dinyatakan dalam ajaran agama maka timbullah
interaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran agama) yang
berkonotasi metafisik. Secara
metafisik ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya, sedangkan di pihak
lain terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan
(nilai-nilai) yang terdapat dalam ajaran-ajaran di luar bidang keilmuan (nilai
moral), seperti agama. Dari interaksi ilmu dan moral tersebut timbullah konflik
yang bersumber pada penafsiran metafisik yang berkulminasi pada pengadilan
inkuisisi Galileo pada tahun 1633. Galileo oleh pengadilan agama dipaksa untuk
mencabut pernyataan bahwa bumi berputar mengelilingi matahari (Sumantri,
2001:233).
Kilasan sejarah yang mengangkat penemuan teori
heliosentris itu menjadi contoh kedua setelah kloning, yang menyinggung tentang
masalah bebas nilai ilmu pengetahuan. Dalam hal ini Galileo menjadi tokoh yang
“dikorbankan” demi suatu upaya pemurnian jati diri ilmu pengetahun. Nilai moral
(otoritas agama), telah mencampuri wilayah ilmiah ilmu pengetahuan untuk
menemukan suatu kebenaran dari data empiris yang digalinya.
Bebas nilai diartikan sebagai tuntutan bagi ilmu
pengetahuan agar ilmu pengetahuan dikembangkan tanpa memerhatikan nilai-nilai
lain di luar ilmu pengetahuan. Dengan kata lain ilmu pengetahuan dikembangkan
hanya demi ilmu pengetahuan, karena itu ilmu pengetahuan tidak boleh
dikembangkan berdasar pada pertimbangan lain di luarnya. Jadi, ilmu pengetahuan harus dikembangkan
semata-mata berdasarkan pertimbangan ilmiah murni.
Yang perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa
tuntutan bebas nilai bagi ilmu pengetahuan itu sendiri sebenarnya tidak mutlak.
Tuntutan bebas nilai hanya berlaku bagi nilai lain di luar nilai yang menjadi
taruhan utama ilmu pengetahuan. Artinya, ilmu pengetahuan tetap peduli terhadap
nilai tertentu pada diri ilmu pengetahuan itu sendiri, yaitu nilai kebenaran
dan nilai kejujuran.
Sekurang-kurangnya ada dua tujuan yang hendak
dicapai dari pemberlakuan tuntutan agar ilmu pengetahuan dikembangkan tanpa
memerhatikan nilai-nilai lain di luar ilmu pengetahuan. Tujuan tersebut adalah:
a. Agar ilmu pengetahuan tidak mengalami distorsi.
a. Agar ilmu pengetahuan tidak mengalami distorsi.
Distorsi ilmu pengetahuan bisa terjadi jika ilmu
pengetahuan tunduk pada pertimbangan lain (politik, religius, maupun moral) di
luar ilmu pengetahuan itu sendiri. Dengan tunduk pada pertimbangan lain, ilmu
pengetahuan tidak bisa berkembang secara otonom. Itu berarti ilmu pengetahuan
menjadi tidak murni sama sekali.
b. Agar ilmu pengetahuan dikembangkan hanya demi
kebenaran saja.
Latar belakangnya adalah apabila ilmu pengetahuan
tidak bebas dari nilai-nilai lain di luar ilmu pengetahuan, kebenaran sangat
mungkin dikorbankan demi nilai lain itu.
Dihadapkan dengan masalah moral dalam menghadapai
ekses ilmu dan teknologi yang bersifat merusak para ilmuwan terbagi ke dalam
dua golongan pendapat. Ilmuwan golongan pertama menginginkan bahwa ilmu harus
bersifat netral terhadap nilai-nilai, baik itu secara ontologis maupun
aksiologis. Dalam tahap ini tugas ilmuwan adalah menemukan pengetahuan dan
terserah kepada orang lain untuk mempergunakannya, terlepas apakah pengetahuan
itu dipergunakan untuk tujuan baik ataukah untuk tujuan yang buruk. Ilmuwan
golongan kedua sebaliknya berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap
nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam
penggunaannya kegiatan keilmuan haruslah berlandaskan pada asas-asas moral.
Golongan kedua mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal, yakni, (1) ilmu
secara faktual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia yang dibuktikan
dengan adanya dua perang dunia yang mempergunakan teknologi-teknologi keilmuan;
(2) ilmu telah berkembang dengan pesat dan makin esoterik sehingga kaum ilmuwan
lebih mengetahui tentang ekses-ekses yang mungkin terjadi bila terjadi salah
penggunaan; dan (3) ilmu telah berkembang sedemikian rupa sehingga terdapat
kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling
hakiki seperti pada kasus revolusi genetika dan teknik perubahan sosial.
Berdasarkan ketiga hal itu maka golongan kedua berpendapat bahwa ilmu secara
moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau
mengubah hakikat kemanusiaan (Sumantri, 2001:234).
D. Relevansi masalah ‘bebas nilai’ dalam ilmu
pengetahuan
Untuk menengahi perdebatan tentang permasalahan
‘bebas nilai,’ terdapat satu tawaran sintesis yang di dalamnya mencoba
membedakan antara context of discovery dan context of
justification.
Context of discovery menyangkut konteks
di mana ilmu pengetahuan ditemukan. Yang mau dikatakan di sini adalah bahwa
ilmu pengetahuan tidak terjadi, ditemukan, dan berlangsung dalam kevakuman. Ilmu pengetahuan selalu ditemukan dan
berkembang dalam konteks ruang dan waktu tertentu, dalam konteks sosial
tertentu. Termasuk di dalamnya adalah kenyataan bahwa ilmu pengetahuan muncul
dan berkembang demi memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi manusia. Jadi,
ilmu pengetahuan tidak muncul mendadak begitu saja. Ada konteks tertentu yang
melahirkannya. Oleh karena itu, tidak bisa disangkal bahwa dalam melakukan
kegiatan ilmiahnya, ilmuwan dimotivasi oleh keinginan, baik itu bersifat
personal maupun kolektif, untuk mencapai sasaran dan tujuan yang lebih luas
dari sekedar kebenaran ilmiah murni. Dengan kata lain, ada banyak faktor yang
jauh lebih luas dari sekedar faktor murni ilmiah, yang ikut mendorong lahirnya
ilmu pengetahuan. Tidak bisa disangkal pula bahwa ilmu pengetahuan berkembang
dalam konteks tertentu yang sekaligus sangat ikut memengaruhinya. Berkaitan
dengan ini, sulit dibayangkan bahwa ilmu pengetahuan bebas dari nilai-nilai
baik itu yang dianut oleh setiap ilmuwan secara individual maupun yang dianut
oleh setiap lembaga dan masyarakat di mana ilmu pengetahuan itu dikembangkan.
Sedangkan yang dimaksud dengan context of
justification adalah konteks pengujian ilmiah terhadap hasil penelitian
dan kegiatan ilmiah. Inilah konteks di mana kegiatan ilmiah dan hasil-hasilnya
diuji berdasarkan kategori dan kriteria yang murni ilmiah. Di mana yang
berbicara adalah data dan fakta apa adanya serta keabsahan metode ilmiah yang dipakai
tanpa mempertimbangkan kriteria dan pertimbangan lain di luar itu. Jadi,
satu-satunya yang dipertimbangkan adalah bukti empiris dan penalaran logis –
rasional dalam membuktikan kebenaran suatu hipotesis atau teori. Dengan kata
lain, satu-satunya nilai yang berlaku dan diperhitungkan adalah nilai
kebenaran.
D.
Kegiatan Nilai dan Nilai
Etisnya
Dalam kaitan dengan otonomi ilmu
pengetahuan, masih ada hal lain yang perlu kita perhatikan. Otonomi ilmu
pengetahuan tentu tidak bisa dan tidak boleh berarti bahwa penelitian ilmiah
tidak perlu menghiraukan nilai luar ilmiah apa pun. Pada situasi konflik perlu
diperhatikan bahwa konflik sebenarnya tidak berlangsung antara nilai – nilai
etis di suatu pihak dan nilai – nilai ilmiah di lain pihak. Dikarenakan kewajiban
etis bersifat absolut. Ilmu pengetahuan tidak pernah bebas nilai, dikarenakan
ia sendiri mengejawantahkan suatu nilai etis, bertambah relevansi etisnya
karena semakin erat kaitannya dengan praksis.
E.
Nilai dan Obyektifitas
Salah satu kesulitan yang dihadapi ilmu –
ilmu manusia ialah cara khusus manusia terlibat dalam ilmu – ilmu itu, sebagai
subyek maupun obyek. Ia terlibat sebagai subyek tentu karena dialah yang
mempraktekkan ilmu pengetahuan alam. Tapi ia terlibat sebagai obyek, hanya sejauh
ia sebagai makhluk alam bisa menjadi pokok pmbicaraan ilmu alam. Sebab, sebagai
makhluk alam ia dikuasai oleh hukum – hukum fisis, kimiawi, dan biologis.
Tetapi kegiatan yang dilakukan ilmu alam tidak merupakan obyek penelitian ilmu
alam. Karena ilmu alam merupakan suatu aktivitas manusiawi yang khas.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dalam menggunakan ilmu pengetahuan,
seharusnya melihat berbagai aspek. Baik dari segi norma, sosial, dan kegunaan dari ilmu sendiri. Karena hasil dari ilmu, pasti akan berdampak
besar dengan yang lainnya. Seperti kemajuan ilmu pengetahuan suatu negara akan
mendorong perekonomian negara tersebut. Sehingga ilmu itu harus terikat nilai.
Karena perlu di perhatikan faktor sebab dan akibat dalam penggunaan ilmu
pengetahuan. Dan juga subyek dan obyek ilmu sendiri adalah manusia, sehingga
karena manusia memiliki tatanan nilai lainnya, tentunya akan mempengaruhi dalam
penggunaan ilmu.
Kesimpulan dari sintesis ini adalah bahwa dalam context
of discovery ilmu pengetahuan tidak bebas nilai, tetapi dalam context
of justification, ilmu pengetahuan harus bebas nilai. Dalam context of
discovery ilmu pengetahuan mau tidak mau peduli akan berbagai nilai lain
di luar ilmu pengetahuan. Namun, dalam context of justification,
satu-satunya yang menentukan adalah benar tidaknya hipotesis atau teori itu
berdasarkan bukti-bukti empiris dan penalaran logis yang bisa ditunjukkan.
Kemudian untuk menempatkan kasus kloning dalam
posisi yang tepat (terkait dengan masalah ‘bebas nilai’), ada baiknya digunakan
sintesis tersebut. Apabila dibaca dengan context of justification,
penemuan teknik reproduksi buatan, dalam kasus ini kloning, memang berada
posisi yang tepat secara ilmiah. Eksistensinya sebagai hasil penemuan ilmiah
tidak bisa diganggu gugat. Namun, ketika kita menggunakan context of
discovery untuk membaca kasus ini, kesimpulan yang didapat akan lain.
Dalam context of discovery, kloning menjadi penemuan yang tidak lagi
perlu dikembangkan lebih lanjut karena hasilnya dianggap merendahkan martabat
manusia. Dilihat dari aspek utiliter, kloning sama sekali tidak berkontribusi
bagi kehidupan manusia yang lebih bermartabat.
Apabila dihubungkan dengan pembagian golongan
ilmuwan sebagaimana telah dibahas di atas, context of justification
dianut oleh ilmuwan golongan pertama yang menginginkan agar ilmu harus bersifat
netral terhadap nilai-nilai, baik itu secara ontologis maupun aksiologis.
Ilmuwan ini memiliki kecenderungan puritan-elitis. Sedangkan ilmuwan golongan
kedua menganut context of discovery. Kecenderungan ilmuwan golongan
kedua adalah kecenderungan pragmatis yang masih memikirkan nilai guna suatu
ilmu. Mereka berpendapat bahwa ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan
manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan.
Lalu, apakah perdebatan tentang masalah ‘bebas
nilai’ dalam ilmu pengetahuan itu tetap relevan untuk dibicarakan? Jawabannya
adalah masih. Jawaban ini tentu disertai oleh alasan yang mendukung. Alasan
pertama adalah, tuntutan ‘bebas nilai’ dalam ilmu pengetahuan memiliki tujuan
yang harus senantiasa dijaga dan dijunjung dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
Dengan itu ilmu pengetahuan tetap otonom dan murni ilmiah. Harapannya, ilmu
pengetahuan tidak serta merta bisa dijadikan alat bagi pihak tertentu yang
ingin melegitimasikan otoritas demi kepentingannya semata. Kedua, perdebatan
tentang ‘bebas nilai’ dalam ilmu pengetahuan itu perlu dilihat sebagai upaya check
and balances, yang bisa ditinjau dengan sintesis context of discovery
maupun context of justification. Hal ini dimaksudkan untuk menggugah
kesadaran ilmuwan agar tidak sekedar mengembangkan ilmu pengetahuan yang
bersifat destruktif, tetapi juga tetap memerhatikan aspek utiliter ilmu
pengetahuan itu sendiri. Hal tersebut tidak dimaksudkan untuk membatasi otonomi
ilmu pengetahuan, hanya untuk menegaskan bahwa kebenaran memang harus
diwujudkan, tapi apakah perlu, tentunya itu dikembalikan kepada para ilmuwan
sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Amsal Bakhtiar. Filsafat
ilmu. 2005. Jakarta : Raja Grafindo Persada
Franz Magnis
Suseno. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. 2010. Yogyakarta: Kanisius
Prof. Dr. A.G.M van
Melsen. Ilmu Pengetahuan Dan Tanggung Jawab Kita. 1992. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama
Prof. Dr. H. Bachri Ghazali,
Dkk. Filsafat Ilmu. 2005. Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga
Rizal Mustansyur dan Misnal
Munir. Filsafat Ilmu. 2009. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Langganan:
Postingan (Atom)